Ia dengan caranya sendiri dapat mengelabui sistem, aparatus kekuasaan, elite intelektual, dan, bahkan, waktu. Dalam kondisi nadirnya, ia berupa residu sistem yang tetap signifikan.
Dalam setiap zaman, ia nyaris selalu ada meskipun tak pernah tampil di pusat, namun tidak pula pernah hilang sama sekali. Yang jelas, istilah-istilah itu belum mampu menopang luasnya kekhasan makna dari konsep bromocorah itu sendiri. Instrumen hukum mengerdilkan bromocorah menjadi istilah-istilah konstruktif yang sempit: pelanggar hukum, kriminal, preman, vigilante, ataupun residivis. Dalam catatan kami di ARKIPEL, istilah bromocorah dapat disejajarkan dengan berbagai istilah di belahan dunia lain, seperti di Australia: bushranger Eropa: highwayman Amerika Barat: road agent dan Amerika Latin: cangaco dan clandestine. Ia berpihak kepada rakyat, di lain kesempatan ia berselingkuh dengan penguasa, di mayoritas masa ia memilih berdiri untuk dirinya sendiri. Dalam konteks masyarakat, ia sering ditempatkan dalam posisi yang cukup diperhitungkan, walau tidak menjadi yang utama. Di kampung, saya dan kawan-kawan sering menyebutnya akak. Di berbagai catatan, baik secara akademik, berita media massa, dan kosa kata yang beredar di masyarakat, ia dikenal dalam berbagai istilah lokal Indonesia, seperti gali, jago, dan jawara. Bromocorah adalah medan sosial kebudayaan yang tak pernah tuntas. Tentu hal ini sangat menantang, saat ia dihadapkan pada bingkai kebudayaan, apalagi sinema. Tema Bromocorah memicu saya untuk melihat lagi kepingan-kepingan peristiwa bersama orang-orang yang saya kenal di masa-masa kecil di kampung. Ingatan pada kawan-kawan di kampung menjadi bahasan yang tak pernah lepas dalam diskusi-diskusi saya bersama kawan-kawan Forum Lenteng untuk tema ARKIPEL tahun ini. Namun, orang-orang yang sebagian saya kenal ini, tentunya, selalu saya pandang sebagai kawan-kawan yang baik, karena berlaku baik pada saya dan keluarga saya. Kampung yang sekarang sudah tidak menjadi kampung lagi ini, banyak melahirkan tokoh-tokoh pemuda kampung yang secara bergiliran menjadi pelanggan setia rumah tahanan di kota kami. Kampung di kota kelahiran saya ini terkenal sebagai tempat para pelaku kriminal sejak tahun 1970-an. Sesekali, kalau saya pulang kampung, kami kadang bertemu, dan bicara hal-hal yang ia lakukan bersama gerombolannya, sembari menyampaikan keinginannya bertemu Iwan Fals, sang idola.
Sejak saya pindah ke Jakarta, kami jarang bertemu. Terlepas dari tindakan kriminal yang ia lakukan di luar kampung, ia sangat dihormati. Kawan saya ini adalah seorang sahabat yang baik, punya loyalitas dan dedikasi yang sangat kuat dalam membela hal-hal yang terkait kampung kami. Pada suatu waktu, bahkan masyarakat kampung kami memilihnya sebagai ketua pemuda.
Ia adalah anak seorang tokoh masyarakat, pandai bergaul, dan tempat anak-anak muda di kampung minta pertolongan saat mendapat masalah seperti perundungan, kekerasan, pemalakan, dan sebagainya dari pemuda kampung lain. Kawan yang ditangkap ini adalah salah satu tokoh pemuda yang sangat dihormati di kampung saya. Beruntung, ia tidak ditembak oleh petugas saat penangkapan di jalur Trans Sumatra itu. SUATU KETIKA, SAYA mendapat kabar dari sahabat di kampung, bahwa seorang kawan kami ditangkap oleh aparat kepolisian karena kasus perampokkan yang ia lakukan bersama kawanannya.